Inti kritik Purbaya gampang dipahami: uang pemerintah dan dana bank terlalu lama parkir di Bank Indonesia (BI). Akibatnya, likuiditas di perbankan seret, kredit ke usaha tersendat, sektor riil kekurangan “oksigen”. Dari kacamata makro, ini tanda fiskal dan moneter tidak kompak. Agar ekonomi pulih cepat dan berlari jauh, kita butuh langkah jangka pendek dan jangka panjang—sekaligus sadar ada risiko dari resep Purbaya.

Langkah Jangka Pendek (3–6 bulan)

  1. Kembalikan likuiditas ke sistem secara terukur.
    Kurangi saldo kas pemerintah di BI, tetapi bertahap. Contoh sederhana: percepat pembayaran tagihan proyek jalan lingkungan, irigasi kecil, dan restitusi PPN. Kalau kontraktor cepat dibayar, ia bisa bayar tukang, beli semen, dan usaha lokal ikut bergerak.

  2. Front-loading belanja yang siap eksekusi.
    Jangan menumpuk belanja di akhir tahun. Mulai dari yang paling mudah dan berdampak luas: BOS sekolah, obat puskesmas, perbaikan pasar tradisional. Ini seperti mengalirkan air ke sawah lebih awal agar panen tidak terlambat.

  3. Buat kredit lebih “menggoda” daripada parkir di BI.
    Perkuat penjaminan kredit (KUR/penjaminan modal kerja) dan sederhanakan proses untuk sektor prioritas: pangan, manufaktur kecil, pariwisata lokal. Gampangnya: bank tidak waswas memberi pinjaman karena ada penyangga risiko.

  4. Komunikasi yang jelas dan rutin.
    Pemerintah–BI umumkan kalender penyerapan dan rencana likuiditas bulanan. Pelaku usaha butuh kepastian, bukan kejutan.

Langkah Jangka Panjang (1–5 tahun)

  1. Aturan main fiskal–moneter yang terukur.
    Sepakati indikator bersama: pertumbuhan M2, target pertumbuhan kredit, dan batas atas saldo kas pemerintah di BI. Saat batas terlampaui, otomatis dilakukan penyesuaian.

  2. Manajemen kas modern.
    Perbaiki perkiraan arus kas agar belanja merata sepanjang tahun. Tetapkan standar waktu bayar—misal restitusi PPN maksimal 14 hari—supaya uang cepat berputar.

  3. Pendalaman pasar keuangan.
    Kembangkan repo, pembiayaan rantai pasok, dan credit scoring berbasis data. Tujuannya, UMKM tidak selalu mentok di agunan fisik dan bank punya kanal sehat untuk menyalurkan dana.

  4. Belanja berkualitas, bukan sekadar besar.
    Prioritaskan proyek ber-multiplier tinggi: irigasi mikro, logistik pangan, vokasi. Contoh: memperbaiki saluran irigasi desa bisa langsung menaikkan hasil panen dan pendapatan petani.

Keburukan/Potensi Risiko Resep Purbaya

  1. Inflasi & kurs.
    Melepas likuiditas terlalu cepat bisa mendorong inflasi dan melemahkan rupiah, apalagi bila impor pangan/energi naik. BI perlu ruang mengelola stabilitas—jangan sampai “tangan” BI diikat.

  2. Likuiditas yang tak tersalurkan.
    Kalau permintaan kredit lemah (pengusaha masih takut ekspansi), uang bisa mengalir ke aset (tanah/saham) bukan ke pabrik/mesin. Hasilnya: harga aset naik, sektor riil tetap lesu.

  3. Moral hazard perbankan.
    Penjaminan berlebihan dan pelonggaran syarat kredit tanpa pengawasan ketat bisa menaikkan kredit macet. Bank bisa “asal salur” karena merasa ditanggung.

  4. Kualitas belanja jeblok.
    Front-loading tanpa kesiapan proyek berisiko kebocoran dan kualitas rendah (asal serap anggaran). Jalan cepat bukan alasan menurunkan standar.

  5. Ruang fiskal tertekan.
    Percepatan belanja tanpa prioritas yang jelas dapat memperbesar defisit dan biaya utang, apalagi jika penerimaan pajak belum kuat.

Penutup

Resep Purbaya mengingatkan: dua mesin—fiskal dan moneter—harus seirama. Itu benar. Namun eksekusinya harus terukur: likuiditas dilepas bertahap, sasaran belanja jelas, kredit dijaga kualitasnya, dan BI tetap punya ruang menjaga inflasi serta rupiah. Dengan begitu, uang publik cepat berubah menjadi pendapatan, pekerjaan, dan produksi, tanpa memicu harga melambung atau utang membengkak. Balance itu kuncinya.

Leave a Comment